Monday, April 23, 2007

Basa Basi

Namanya aja basa basi, bahasa yang basi, memangnya ada barang basi yang enak. Pastinya tidak. Aku benci basa basi, memuji orang tidak dengan tulus atau memberikan janji-janji kosong dan palsu. Akibatnya aku sering dinilai sebagai orang yang kasar. Huh, hidup kok penuh topeng.

Basa basi aku rasa sangat jauh bedanya dengan kesopanan. Tapi sering kali indikator sopan itu dicampuradukkan dengan basa basi. Seperti orang jawa kalau mau ngomong selalu bilang, "mohon maaf"... hah kalo ga bikin salah kenapa bilang maaf segala. Dan aku juga tidak suka untuk memuji orang setiap kali ketemu. Kecuali jujur, spontan.

Sayangnya justru banyak orang yang malah melupakan kesopanan alias manner, apalagi mereka yang bekerja di bidang jasa. Oke-lah kalau untuk bangsa sendiri tapi kalau dilakukan terhadap orang luar? Keliatan deh bad mannernya kita orang indonesia.

Saturday, April 14, 2007

Indian dari masa lalu

Ada beberapa kenangan yang sangat berharga tetapi terlupakan di sudut-sudut otak kita, bahkan kadangkala menelusup sampai di bawah sadar. Begitu berharga tetapi terlupakan. Kenangan bagiku adalah harta karun dan mesin waktu untuk bisa mencapai masa-masa yang telah lama berlalu. Mutlak sekaligus fana sekaligus abadi. Kenangan selalu berjalan seiring waktu, tidak pernah akan kembali. Kenangan adalah hal yang sangat pribadi yang tidak dimiliki oleh orang lain, hanya oleh dirimu.

satu dekade lebih pernah ada seseorang yang memasuki hidupku hanya beberapa jam saja. Tetapi kesannya sangat mendalam. Dan kenangan itu perlahan-lahan hanya ada di sudut-sudut ingatanku. Terlupakan. Aku teringat kembali pada kenangan itu karena pertemuan yang tiba-tiba dan hanya sebentar dengan seseorang di sebuah kafe internet... aahhhhhhhh... rasanya seperti melihat sosok malaikat pelindungmu. wajah itu hadir di saat aku mulai melupakan keindahan cinta dan merasa sebal dengan tingkah polah laki-laki yang genit hanya karena kita ramah. Sungguhkah dia itu malaikatku

Thursday, April 12, 2007

Bersyukur

Kalau di jakarta sering jadi lupa diri. Mungkin bukan di jakarta saja, tapi dalam hidupku saat ini. Walaupun bukan menjadi orang kaya raya, tapi aku toh masih mampu untuk berfoya-foya dengan uang yang aku hasilkan sendiri. Shopping till dead drop kalau sedang bete atau jengkel, dan membuang-buang uang yang cukup banyak untuk hal-hal yang tidak perlu. Di dalam perjalanan menyusuri jalur Pantura, dengan biaya yang lebih dari cukup, kami harus memotret kemiskinan dan dimana orang-orang yang membutuhkan bantuan, cukup membuat aku kalah telak pada kemapanan kami.

Bukan hanya sekali orang menyebutku anti kemapanan. Aku tidak punya rumah pribadi, kendaraan pribadi maupun deposito yang lebih dari cukup. Tetapi dalam hidupku tidak pernah mengenal arti lapar. Trus, kenapa aku tidak bisa bersyukur kepada Tuhan. Pertimbangan moralku, rata-rata lah, dan aku bisa berdoa dengan tulus kepada Tuhan tanpa ada beban ekonomi atau masalah lain yang membelitku untuk bisa beribadah secara paripurna kepadaNya. Tetapi kenapa aku belum bisa melakukannya?

Di sepanjang jalur Pantura, pahit getir kehidupan manusia tergambar dengan gamblang, membuatku hatiku tersayat dan berdarah, membuatku merasa menjadi manusia yang sangat tidak berarti. Apa yang bisa kuberikan untuk memperbaiki keadaan sedangkan nafsuku sebagai manusia hanya ingin bersenang-senang. Tetapi di desa-desa pulau Jawa, pulau yang katanya daerah paling maju di Indonesia, ternyata ada orang yang harus menukarkan hidupnya menjadi budak di salah satu tuan tanah. Bahkan untuk biaya sakit pun mereka harus berhutang dan anak-anak usia SD yang harus keluar sekolah, atau melacurkan diri agar keluarganya dianggap berhasil. Walaupun berpakaian ala islami tetapi terkadang ajaran moral sering terpaksa harus dilanggar. Tidak ada pilihan lain untuk hidup, tetapi masyarakat kecil apalagi anak-anaknya adalah para survivor. Dalam kekurangan, dalam kepedihan mereka akan tetap tertawa, mentertawakan kegetiran hidup.