Tuesday, June 29, 2010

Perempuan dalam cerita

Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Hal itu berlaku bukan hanya untuk kepemilikan barang saja tapi juga untuk jodoh. Seorang perempuan, siapapun orangnya akan selalu bangga jika banyak dikejar cowok, kedua jika punya gandengan yang sah maupun pre-sah yang orangnya keren, kaya, pintar. Apalagi perempuan di Indonesia yang cukup banyak punya sindrom Cinderella yang berharap mendapatkan Prince Charmingnya. Sehingga status menikah cukup diburu oleh kaum perempuan Indonesia, walaupun setelahnya wassalam apakah akan bahagia atau tidak.

Para jomblowati seperti saya, mau tak mau sering minder melihat para pasangan itu berparade di hadapan kita, sementara kita sendiri masih bengong bego. Walaupun punya pasangan tidak garansi bahagia 100%. Berbagai cerita perempuan hadir dan seringkali saya melewatkannya karena dalam dunia jomblowati yang bertunangan dengan pekerjaan kadangkala hampir tidak punya waktu untuk membicarakan masalah pribadi. Yang paling menyedihkan saya sebenarnya cerita perempuan yang jatuh ke pelukan lelaki yang salah.

Beberapa hari yang lalu saya berkenalan akrab dengan seorang perempuan matang yang tadinya satu tempat pekerjaan dengan saya. Beliau yang usianya sangat matang dan hidup single setelah bercerai dengan suaminya ternyata pernah punya hubungan dengan orang yang menurut saya statusnya jauh dibawah ibu ini. Yang menyedihkan hati saya karena ibu ini juga mengorbankan hartanya untuk sepercik kasih sayang lelaki. Dia bukan seorang tante girang, karena dalam usianya yang super matang kehadiran lelaki dibutuhkan untuk teman jalan dan curhat. Saya tidak mau bergunjing tentang moral disini pilihan ada di masing-masing orang.

Seorang teman saya menikahi bule yang berada di ujung dunia. Lelaki itu ganteng, muda dan mereka saling mencintai. Sayangnya mereka punya masalah berbeda tentang idealisme, temen saya hanya membutuhkan kehidupan biasa-biasa saja, sedangkan suaminya aktif di partai politik kiri. Yeah, selamat berjuang kawan.

Temen saya yang satu lagi menikahi teman kuliahnya yg bule. Tapi pak Bule satu ini dibayangi ketakutan akan terkena ca colon, karena ibunya juga kena penyakit serupa. Ditambah lagi hubungannya dengan bapak bule ini dibayangi masalah putus hubungan dari pacar sebelumnya yang kurang enak ceritanya.

Teman saya yang lain menikahi bule yang baik dan mencintai dirinya, tapi mereka tidak bisa sering-sering bertemu karena pekerjaan masing-masing ada di negara yang berbeda. Berat di ongkos.

Makanya istilah setiap orang menyimpan tengkorak di lemarinya saya rasa tidak terlalu salah. Dan kita tidak usah iri jika orang lain kelihatannya bahagia, karena siapa yang tahu masalah kehidupan mereka yang sebenarnya. Ikhlas aja deh dengan apa yang diberikan pada diri kita.

Tapi cerita tentang perempuan yang selingkuh selalu membuat saya takjub. Rasanya ga masuk akal bisa membiarkan diri dipermainkan laki-laki. Apalagi sama bule, peduli amat posisinya bagaimana. Mengenaskan sekali saling bersaing dengan teman sekantor hanya untuk menarik perhatian lelaki yang ga bernilai.

Begitulah cerita perempuan yang saya dengar. Pasti masih banyak cerita horor lainnya dalam kehidupan perempuan.

Thursday, June 17, 2010

A Thousand Splendid Suns by Khaled Hossaini

KABUL
Saib - e - Thabrizi
translated into English by Josephine Davis

Ah! How Beautiful is Kabul encircled by her arid mountains
And Rose, of the trails of thorns she envies
Her gusts of powdered soil, slightly sting my eyes
But I love her, for knowing and loving are born of this same dust

My song exhalts her dazzling tulips
And at the beauty of her trees, I blush
How sparkling the water flows from Pul-I Bastaan!
May Allah protect such beauty from the evil eye of man!

Khizr chose the path to Kabul in order to reach Paradise
For her mountains brought him close to the delights of heaven
From the fort with sprawling walls, a Dragon of Protection
Each stone is there more precious than the treasure of Shayagan

Every street of Kabul is enthralling to the eyeof
Through the bazaars, caravan of Egypt pass
One could not count the moons that shimmer on her roofs
And the thousand splendid suns that hide behind her walls

Her laughter of mornings has the gaiety of flowers
Her nights of darkness, the reflections of lustrous hair
Her melodious nightingales, with passion sing their songs
Ardent tunes, as leaves enfalmed, cascading from their throats

And I, I sing in the gardens of Jahanara, of Sharbara
And even the trumpets of heaven envy their green pasures

Tuesday, June 01, 2010

Hari-hari terakhir

Kurang dari satu bulan lagi saya akan meninggalkan kota kecil ini. Langkah saya telah tertoreh di sana, sama dengan jejak seorang Wallace di 100 tahun silam. Kota dimana matahari bersinar terik, dan rembulan perak menggantung di langitnya yang biru. Jejak rembulan bergoyang di riak air laut. Disana saya habiskan 2,5 tahun hidup ini.

Saat malam tiba dan saya menyusuri jalan pulang ke rumah, tercium berbagai wangi di udara. Wangi bunga kemboja yang manis saat melewati sebuah rumah dan wangi karamel saat melewati rumah makan menggantung di udara malam. excursi saya tidak selalu tenang dan sepi, karena tukang ojek sering menawarkan jasa melalui klakson. Tapi saya menolaknya. Saya hanya ingin mengukur jalan-jalan kecil ini dan bercumbu dengan bulan di langit.




Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT