Wednesday, September 08, 2010

Mencoba lepas dari angan-angan

Weekend panjang minggu lalu dengan adanya Labour day, merupakan penderitaan yang tersendiri. Tapi tidak ada yang menyadarinya. Sudah begitu dari dulu, setiap luka hati hanya saya dekap sendiri, menangis sendiri, dan bersikap seolah-olah saya baik-baik saja. Sampai ada yang kaget kalau melihat air mata saya menitik.

Weekend itu air mata saya mengalir meratapi kepedihan hati. Saya sadar saat bercermin dan menyadari gap usia diantara kami dan harus melepas perasaan hangat dan kedekatan di hati ini. Dia lelaki yang memenuhi semua syarat saya, lelaki yang mencintai kemanusiaan, lelaki yang mau meninggalkan kemapanan, lelaki yang tidak gagap teknologi, lelaki yang mudah mengulurkan tangan pada orang lain. Dia mungkin tidak pernah memikirkan saya seperti saya memikirkan dirinya.

Kesendirian dan kesepian di weekend itu mampu menggempur ketegaran diri saya dan nyaris membuat saya menangis di stasiun bis. Dan malam itu sayapun mencoba meneguhkan hati untuk kuat melangkah sendiri seperti biasanya. Dibantu dengan shopping therapy yang sekali lagi membuktikan bahwa hanya perempuan yang kesepianlah yang menghamburkan uang untuk belanja. Saya akui itu, tapi apa daya, dibanding dengan sergapan sepi saya memilih untuk belanja saja. Lagipula barang yang saya beli memang sedang dibutuhkan hanya saja saya tidak peduli dengan harga yang harus saya bayar... hahaha.

Hari kemarin, saya hanya menemukan bukti dirinya ada di sekitar saya, saya melihat ranselnya, helm sepedanya, tapi saya melihat wajahnya. Dan dia tidak menyapa saya hari itu, walau saya mendengar suaranya. Yang bisa saya lakukan hanya menghabiskan waktu dengan memikirkan tugas sekolah, saya datang ke negri ini untuk sekolah dan bukan untuk macam-macam. Sekali lagi saya mengingatkan diri saya supaya ga mikir macam-macam.

Dan pagi ini saya datang agak pagi karena ngejar kelas biostat, dan saat saya akan menyebrang, saya melihat seorang pengendara sepeda yang mirip dia, tapi karena saya tidak memakai kacamata dan jaraknya cukup jauh, saya tidak memberikan senyum atau apapun, takut kesalahan orang aja. Dan lagi saya tidak yakin dengan reaksi yang akan saya dapatkan, bisa saja saya dicuekin. Pengendara sepeda itu sepertinya memandang saya sih, tapi sekali lagi saya ga mau kege-eran.

Selesai dengan kelas biostat, saya jalan nyantai aja, karena kelas berikutnya masih 2 jam lagi. Saya kebetulan jalan dengan teman dari afrika, dan lagi nyantai gitu, tiba-tiba ada sepeda nyelonong disamping saya sambil menyapa saya, deket banget dengan pipi saya...  Dan dialah yang melewati saya. Hmm... kaget sungguh. Tapi karena teman saya ngoceh, maka saya hanya melambaikan tangan saja dan tersenyum melihatnya. Dan sesuatu yang hangat menyelinap kedalam hati saya melihat senyumnya. Aah... rupanya hati yang saya coba buang itu masih ada kuncupnya disana.

No comments: