Sunday, October 24, 2010

Makna seorang "Ibu"

Gara-gara nonton film-nya Pink Floyd dan baca surat dari nyokap, weekend ini jadi terjebak melakukan refleksi diri. Membedah isi hati dan mempertanyakan pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan. Mungkin juga karena sedang sedih atas hilangnya sebuah ilusi, tapi ga mau wasting time dengan menangisinya.

Surat dari nyokap ga jauh-jauh dari keluhan tentang sakitnya. Tentang diantar sama teman dan tetangga ke rumah sakit. Berusaha memancing perasaan bersalah saya? Tapi jadi kebal. Selalu dan selalu membuat saya harus bertanggung jawab dan harus memperhatikan dirinya, sedangkan dia sendiri hampir tidak pernah ingin tahu tentang segala hal yang menarik untuk saya. Mungkin karena saya memang mahluk mutan, jadi sama sekali tidak bisa dimengerti.

Ibu seharusnya menjadi tempat mengadu untuk anak-anaknya, menjadi tempat perlindungan saat si anak sedang merasa sakit, ibu adalah rahim alias kasih sayang. Jika 2 orang yang jiwanya pernah terluka oleh orang tua mereka menikah dan memiliki anak, tetapi masing-masing egois dengan perasaannya dan tidak berusaha tapi menginginkan keluarga yang harmonis, hasilnya adalah anak yang tidak tahu bagaimana memberi dan menerima cinta, anak yang berpetualang dari satu pelukan perempuan ke pelukan perempuan lain, anak yang menutup rapat-rapat jiwanya. Anak yang dilahirkan dari pasangan ini tidak ada yang bisa tumbuh dewasa jiwanya dalam usia berapapun.

Manusia bisa memilih kapan mau membentuk keluarga dan memiliki anak, tapi seorang anak tidak pernah bisa memilih kapan, dimana, oleh siapa dia ingin dilahirkan. Pada saat seseorang memutuskan untuk menjadi orang tua, tanggung jawab memelihara anak adalah kewajiban utama. Menjadi orang tua berarti melindungi anak dari berbagai macam ancaman luar. Tidak ada lagi alasan capek, lelah, atau masalah mertua. Kewajiban utama ada pada kesejahteraan anak.

Tetapi dalam masyarakat hipokrit Indonesia yang ditonjolkan oleh para pemuka agama hanyalah penampilan luar dari menjaga anak. Kesehatan seorang anak bukan hanya fisik tetapi meluputi kesehatan batin juga. Jiwa anak itu sangat rapuh, dan sekali tersakiti lukanya akan dibawa sampai akhir hayat. Jika orang tua pernah melukai jiwa seorang anak, bagaimana mungkin anak akan bisa dekat dengan orang tua.

Ahli agama selalu mendengung-dengungkan, jangan melupakan ibu yang bersusah payah mengandung kita selama sembilan bulan dan bertarung mempertahankan nyawa saat melahirkan. Bener banget pak ulama, tapi bagaimana seorang anak bisa membalas kasih sayang, jika sejak muda usianya sudah mendengar curhatan ibunda tentang kesulitan keuangan yang dihadapinya, tentang kekecewaan terhadap suami dan mertua, kekecewaannya pada kakak-kakak dan ibunya, kebahagiaannya saat kuliah dan semua pertemanannya, tentang kelegaan dia karena hanya perlu memikirkan satu anak saja yang terlibat kesulitan tapi tidak anak lainnya? Dan pada saat anak yang tidak pernah memberinya masalah itu hanya menginginkan SATU pelukan untuk menghilangkan ketakutannya tapi malah mendapatkan cemoohan dan pertanyaan kenapa harus takut dengan orang gila itu? Anak itu juga tahu kalau ketakutannya tidak beralasan, dia hanya menginginkan pelukan sekejap yang hangat, cukup satu pelukan singkat saja, yang tidak rela diberikan oleh orang yang berposisi ibu.

Dalam hidup anak itu, nyaris menjadi tempat bertanya untuk semua masalah itu, dan anak itu muak. Karena tidak pernah sekalipun orang berposisi ibu menanyakan apakah si anak punya masalah, kenapa si anak tampak sedih. Tidak ada. Dan salahkah si anak kalau merasa menjadi yatim piatu setelah kematian neneknya? Pernah pak Ulama membayangkan kehidupan seperti itu? Apakah orang tua bebas dari kesalahan?

Saya membaca surat ibu dan melihat kalimat, kemana lagi harus curhat kalau bukan pada saya. Ok, terimakasih banyak karena posisi saya tidak lebih dari hewan peliharaan yang bisa ngomong, boneka yang hidup, yang wajib mendengarkan tapi tidak wajib untuk didengarkan. Dan saya sudah lama berhenti berusaha untuk mencari solusi dari ibu saya, karena ibu saya sama sekali tidak ingin mendengarkan keluhan orang lain termasuk anaknya sendiri.

Terimakasih untuk menjadi ibu yang begitu tergantung pada anaknya. Terimakasih untuk semua perasaan bersalah yang harus saya tanggung karena tetangga dan teman yang justru mengantar ibu saya ke rumah sakit. terimakasih...terimakasih...

No comments: